Thursday, June 26, 2014

“Ijtihad Progresif” dan Penyatuan Kalender Islam

DALAM khazanah pemikiran kalender Islam, khususnya di Indonesia, dikenal istilah wujudul hilal dan visibilitas hilal (imkanur rukyat). Kehadiran wujudul hilal merupakan sintesa kreatif atau “jalan tengah” antara teori ijtimak (qabla al-ghurub) dan teori visibilitas hilal atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni. Karenanya bagi teori wujudul hilal metode yang dibangun dalam memulai tanggal satu bulan baru pada kalender Islam tidak semata-mata proses terjadinya konjungsi tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat matahari terbenam (sunset). Dengan kata lain awal bulan kamariah dimulai bila telah terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, dan matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan (moonset after sunset).

Sementara itu visibilitas hilal adalah bangunan teori yang bersumber dari pengalaman “subjektif” para pengamat. Sehingga melahirkan beragam varian, misalnya teori visibilitas hilal yang dikembangkan MABIMS, Turki (1978), Mohammad Ilyas, Mohammad Syawkat Audah (Odeh), dan Hamid Mijwal Naimiy. Teori ini menyatakan awal bulan kamariah dimulai bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, seperti telah terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, elongasi, umur bulan, mukuts, dan ketinggian hilal.

Ada pertanyaan yang perlu diajukan, mengapa teori visibilitas hilal lebih populer di lingkungan astronom? Menurut saya, para astronom, sesuai dengan era perkembangan awalnya, masih dipengaruhi oleh pola pikir positivistik-empirik. Meskipun demikian dalam hierarki dan klasifikasi hisab, wujudul hilal dan visibilitas hilal masuk satu rumpun yaitu hisab ijtimak dan posisi hilal di atas ufuk. Sekilas tampak jelas bahwa keduanya bersumber dari pemahaman dan pengalaman serta memiliki tingkat kepastian yang sama.

Namun dalam perjalanannya implementasi visibilitas hilal di Indonesia tidak sesuai konsep awal yang dirumuskan. Dalam praktiknya visibilitas hilal hanya digunakan sebagai pemandu observasi hilal, khususnya dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal. Sehingga tidak salah bilamana sebagian masyarakat menganggap visibilitas hilal tak ubahnya seperti rukyatul hilal karena telah terjadi pergeseran makna, tidak memiliki kepastian, dan tidak empirik. Bukti kongkret aplikasi teori visibilitas hilal MABIMS di Indonesia dalam penentuan awal bulan Rajab 1434 H. Data hisab menunjukkan konjungsi terjadi pada hari Jum’at 10 Mei 2013 pukul 07.28 WIB, elongasi 4 derajat 40 menit 54 detik, umur bulan 10 jam, dan ketinggian hilal 3 derajat 41 menit 45 detik.

Berdasarkan teori visibilitas hilal MABIMS, data di atas memungkinkan hilal teramati. Namun realiatasnya para pengamat tidak berhasil, seperti dilaporkan oleh Tim Lajnah Falakiyah PB NU dan Kemenag RI yang melakukan observasi di Balai Bukit Condrodipo Gresik Jawa Timur. Meskipun hilal tidak teramati awal bulan Rajab 1434 H tetap jatuh pada hari Sabtu 11 Mei 2013 sebagaimana yang telah ditetapkan oleh teori wujudul hilal. Peristiwa ini bukanlah yang pertama. Adalah pertanyaan yang sulit dijawab bagaimana “logika berpikir” tersebut dapat dioperasionalisasikan di lapangan ketika umat Islam menginginkan penyatuan kalender Islam.

Bahkan Mohammad Syawkat Audah menyatakan saat ini dunia Islam yang memiliki kalender Islam yang mapan adalah Turki dan Malaysia. Keduanya secara konsisten menggunakan teori visibilitas hilal sejak Muharam hingga Zulhijah tanpa menunggu hasil observasi. Pernyataan ini dalam konteks Indonesia mengisyaratkan bahwa wujudul hilal lebih mapan dan memberi kepastian dalam struktur kalender Islam dibandingkan visibilitas hilal. Artinya visibilitas hilal yang digunakan pemerintah Indonesia belum diakui di tingkat global. Sebab dalam praktiknya untuk menentukan awal bulan kamariah, khususnya awal Ramadan dan Syawal masih harus menunggu hasil observasi. Dengan kata lain visibilitas hilal yang digunakan tidak sesuai makna asal.

Oleh karena itu diperlukan terobosan melalui “ijtihad progresif “ bahwa penyatuan penentuan awal bulan kamariah di Indonesia tidak semata-mata penyatuan metode hisab dan rukyat. Apalagi memaksakan penggunaan visibilitas hilal yang tidak autentik alias visibilitas hilal cum rukyatul hilal. Tetapi yang diperlukan adalah “penyatuan kalender Islam” berbasis riset yang komprehensif. Sehingga umat Islam Indonesia memiliki kalender Islam yang mapan bersendikan agama dan sains. Semoga………

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab

Susiknan Azhari

 Sumber Foto : Dokumen Museum Astronomi Islam



No comments:

Post a Comment