Thursday, June 19, 2014

Blunder Penulis Buku "Muhammadiyah itu NU"

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga pada menyelenggarakan acara bedah buku dengan judul “MUHAMMADIYAH ITU NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan”. Acara ini mengundang penulis buku Mohammad Ali Shodiqin dengan pembahas KH Muzamil (tokoh NU) dan Wawan Gunawan Abdul Wahid Lc, MA (tokoh Muhammadiyah).
 
 

Secara umum pembaca buku tersebut merasakan kesan bahwa buku tersebut memberi informasi data yang tidak komprehensif. Memang muncul pertanyaan kenapa buku tersebut di berikan judul "Muhammadiyah itu NU" di berbagai kesempatan penulis menceritakan jika judul tersebut adalah dari pihak penerbit bukan penulis, sehingga ketika kita tahu itu judul dari penerbit maka logika kita mengatakan bahwa motivasi finansial tentunya yang jadi pertimbangn penerbit memberi judul buku tersebut.

Kemudian di bawah panggung, saat menunggu acara dimulai, terjadi obrolan ringan dengan pembawa acara yang bertanya kepada penulis terkait kalimat kedua dari judul : “... Dokumen Fiqih yang Terlupakan”, menurut njenengan siapa yang melupakan? Jawaban penulis, yang melupakan penerbitnya.... he he he. Dan penulis mengungkapkan, bahwa beliau akan meminta maaf terkait dengan isi buku bila mengganjal dan akan melepas peci sebagai simbol bahwa meski beliau NU, memiliki cara pikir bernuansa Muhammadiyah. Namun pembawa acara katakan ndak perlu lah, ndak ada yang salah, kita santai saja.... Tapi akhirnya tetap saja dilepas ketika penulis telah naik panggung.

Diskusi bedah buku pun berjalan tampak penulis tidak menguasai materi buku yang ditulisnya sering kali tidak menjawab atau membantah apa yang disampaikan pembicara lain sehingga sering kali penulis mendapat sorakan riuh dari mahasiswa UIN yang menghadiri bedah buku tersebut, berikut beberapa catatan oleh Ustadz Wawan Gunawan Abdul Wahid yang menjadi pembicara dalam bedah buku tersebutPenulis buku menurut Wawan Gunawan Abdul Wahid tidak siap dan cenderung pasrah karena apa yang dinyatakan oleh beliau sama sekali tidak dibantahnya. Padahal diskusi bukan waktunya mengalah, namun waktunya meyakinkan pendengar bahwa bukunya benar. Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya. 
Lalu menurutnya buku tersebut sarat dengan keluguan dan kenekadan. Bahkan sejak awal sudah diawali kekeliruan karena penulis menggunakan dokumen yang dimiliki Majelis Pustaka PP Muhammadiyah tanpa izin. Yang dilakukan penulis sama saja dengan pencurian dokumen dan penulis tidak membantah hal tersebut.

Ustadz Wawan mengatakan bahwa yang dilakukan Muhammadiyah adalah mengamalkan ajaran Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i tanpa menyebut dirinya mazhab Syafi'i. Kata Imam asy-Syafi'i, "idzaa shahhal hadiitsu fa huwa madzhabii", jika suatu hadis itu shahih maka itu jalan fikiran (madzhab) saya. Itulah mengapa Muhammadiyah meninggalkan praktek qunut subuh dan shalat qiyamuramadlan 23 rakaat. Hal tersebut karena didasarkan pada hadis-hadis yang tidak valid.

Lalu penulis tidak bisa membuktikan bahwa Muhammadiyah Kyai Dahlan bermazhab Syafi'i seperti yang penulis asumsikan. Bagaimana bisa dikatakan bahwa Kyai Dahlan bermazhab Syafi'i sementara kitab yang dibacanya beragam. Misalnya, Al I'tishom dan al Muwafaqat yang bermazhab maliki, at-tawassul wal-wasiilah dan Zaadul ma'ad yang bermazhab Hanbali. dan Tafsir al-Manar yang bermazhab Mu'tazaili.

Ketika penulis memasukan pembabakan fikih Muhammadiyah pada mazhab Wahabi, yang menjadi ukurannya adalah masalah-masalah yang tidak menjadi ciri wahabi. Misalnya Muhammadiyah dilabeli wahabi karena menunaikan shalat hari raya di lapangan, padahal wahabi pun menunaikan shalat hari raya di mesjid. apalagi jika menyangkut soal rukyat dan hisab dalam penentuan Ramadhan dan Syawwal. Jelas wahabi lebih aswaja daripada Muhammadiyah, karena wahabi menggunakan rukyat, sementara Muhammadiyah menggunakan hisab.

Poin terbesar yang menjadi kebohongan penulis adalah ketika dia berniat menulis buku "Muhammadiyah itu NU" untuk menyatukan dua ormas terbesar ini. Padahal yang ditulisnya justru lebih sering menistakan Muhammadiyah alih - alih ada upaya mengedepankan sikap tasamuh dan menghormati yang terjadi penulis selalu menyalahkan muhammadiyah hanya berdasar asumsi dan imajinasi penulis.

Penulis buku terlihat nekad karena tanpa pengetahuan yang cukup menuliskan beberapa paragraf yang malah memperlihatkan ketidaktahuannya. Misalnya saat dia menulis bahwa kiblat masjid Raya Yogyakarta saat dikoreksi oleh Kiai Dahlan dinilai sudah benar, sebab arah kiblat bagi Yogyakarta dan seluruh wilayah Nusantara, adalah arah barat, bukan ke timur, utara atau selatan. Sehingga bengkok 25 derajat itu masih dapat diterima. Pertanyaannya apakah benar bengkok arah kiblat dalam angka 25 derajat masih dapat diterima? 

Penulis menuliskan sesuatu tanpa ilmu. Arah kiblat kota-kota di Indonesia menghadap ke arah barat dengan kemiringan bervariasi ke utara dari 22o s.d 25o . Hal ini merupakan perhitungan menggunakan segitiga bola pada permukaan Bumi. Sehingga posisi Indonesia yang berada di sebelah timur Mekah, memiliki arah ke Ka’bah menghadap ke arah barat serong utara. Untuk wilayah Yogyakarta sendiri dengan lintang dan bujur yang dipakai yaitu 7o 48’ LS dan 110o 21’ BT, sudut kiblat dihitung dari titik barat 24o 43’ 1, 25” ke arah Ka’bah. Sehingga jika bengkok 25 derajat itu kurang tepat. Karena daerah yang berada di khatulistiwa sendiri memiliki penyimpangan 1 derajat = 111 km.

Lalu ketika Ali Shodiqin menulis Imam Maliki dan Imam Hanafi untuk Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah, terang sekali penulis tidak punya perspektif yang bagus tentang fiqih. Hal tersebut semakin memperlihatkan keNekadannya dalam menulis buku. Hanafi dan Maliki itu nama Mazhab sedangkan nama orang pendirinya Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.

Saat beramah tamah, penulis mengatakan bahwa beliau sama sekali tidak mengatakan Muhammadiyah itu wahabi. Sayangnya kata wahabi ada di berbagai halaman bukunya. Lalu kita bisa menilai apa makna dari kata wahabi yang ada di buku tersebut. 

Penulis berdalih mengedepankan sikap tawadhu sehingga enggan mengikuti perdebatan soal isi buku tersebut namun hal ini dinilai masih kurang tawadhu. Justru Tokoh NU yang bernama Kyai Muzamil itu lebih tawadlu. Ketika dia belum menemukan dalil yang benar bahwa Umar shalat tarawih 23 rakaat dia mengakui dengan jujur. Sementara penulis terlihat tidak punya amunisi untuk bicara.

Jadi apa yang digemborkan penulis bahwa bukunya adalah untuk mempersatukan Muhammadiyah dan NU itu hanya bualan dan kamuflase saja untuk mendongkrak royalti buku karena buku tersebut lebih banyak mendeskriditkan Muhammadiyah tanpa dasar yang jelas, selain itu berulang kali penulis di laman facebooknya menulis pernyataan yang justru memilukan dan memalukan tidak menggambarkan orang yang dewasa menyikapi perbedaan tapi malah memprovokasi perbedaaan dengan selalu menempatkan Muhammadiyah sebagai pihak yang bersalah , sebuah perilaku yang konyol dan jumawa terhadap realitas. (SP)

No comments:

Post a Comment