Al-Qur'an dengan sangat tandas mengingatkan agar manusia menjauhi sikap-sikap yang dapat menjerumuskan pada kebangkrutan individual, seperti putus harapan, berwawasan miopis, dan mementingkan diri sendiri. "Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman" (Qs. Ali Imran [3]: 139). Sebaliknya, tidak terhitung pesan moral Al-Qur'an (dan al-Hadits) agar manusia memandang kehidupan ini penuh harapan di hari esok, mencerahkan, hidup penuh dengan pilihan, dan membangun kemaslahatan kolektif.
Mengapa Al-Qur'an melarang sikap-sikap bernuansa pesimistik yang menunjukkan kelemahan mendasar manusia itu? Sedikitnya ada dua jawaban atas pertanyaan ini, yang mana jawaban berikut amat mudah dirujukkan pada Al-Qur'an sendiri.
Pertama, sikap-sikap tersebut bertentangan dengan fitrah dasar sebagai ciptaan Allah yang secara spiritual sangat mulia, secara moral sangat merdeka, dan secara fisik sempurna. Allah menciptakan manusia tidak secara sia sia, ia dilengkapi dengan perangkat yang lengkap untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik dan batiniahnya. "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur" (Qs. An-Nahl [16]: 78).
Kedua, semua sikap yang mengarah pada keputusasaan dan kelemahan merupakan bentuk kedlaliman atas diri manusia dan menjatuhkan martabat kemanusiaannya karena sikap itu merupakan representasi dari keingkaran dan memperturutkan nafsu setan. "....dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang ingkar." (Qs. Yusuf [12]: 87).
Sementara kesempitan pikiran disinyalir sebagai rekayasa setan yang menakut-nakuti agar manusia berlaku kikir, tidak peduli orang lain. "Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al¬Baqarah [2]: 268)
Dengan demikian, keputusasaan dan kesempitan pikiran menunjukkan ketidakmampuan seseorang
dalam mengelola dan mengendalikan daya kelebihan¬kelebihannya yang telah dianugerahkan oleh Allah, sehingga orientasi hidupnya dikendalikan oleh keinginan¬keinginan eksternal yang merugikan diri sendiri. Keputusasaan dan wawasan sempit merupakan akibat dan sekaligus sebab manusia bergerak involutif, berorientasi ke belakang saja.
Kondisi tersebut sangat jauh dari pesan moral dan sosial Islam, sebagaimana Al-Qur'an menyatakan, bahwa manusia adalah makhluk yang kuat, bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, dan memandang kemaslahatan bersama sebagai tugas utamanya. Karena itu diperlukan visi ke depan dan hari esok sebagai orientasi hidup yang lebih menggembirakan. Kemuliaan hidup tidak di mass lalu, tetapi di mass depan. Apa pun yang hari ini tampak sebagai musibah yang menghambat dan menyulitkan tidaklah memperlemah dan menyurutkan hasrat dalam usaha mencapai harapan yang lebih mencerahkan.
Cita-cita ideal kehidupan yang sejahtera di dunia dan hidup bahagia di akhirat hanya bisa dicapai dengan sikap hidup yang optimis tentang mass depan. Maka adalah tepat sekali dalam kesimpulan akhir dari visi Muhammadiyah tentang "Indonesia Berkemajuan Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna" dikutip ayat, "Hai orang¬orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Qs. AI-Hasyr [59]: 18).
Ayat tersebut mengingatkan agar setiap orang yang beriman memiliki sikap otokritik dengan cara memeriksa kembali secara sungguh-sungguh apa yang telah dilakukan. Otokritik sebagaimana tercermin pads kata "nafsun" jugs mengandaikan pengertian agar manusia tidak lupa diri. Otokritik menjadi bekal utama memasuki gerbang mass depan penuh optimisme. Kita percaya bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan. Islam adalah agama kemajuan (din al-hadlarah) yang diturunkan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan membawa rahmat bagi semesta alam.-
Mutohharun Jinan, pengajar di FakultasAgama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
No comments:
Post a Comment