Saturday, September 27, 2014

Surat Terbuka Untuk yang Selalu Menyalahkan Muhammadiyah

Rasa-rasanya hampir setiap menjelang awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha senantiasa mendapatkan kritikan. Tentu kita semua sudah mafhum yang menjadi objek kritik adalah persoalan penetapan waktu ibadah yang terkadang berbeda dengan ketetapan pemerintah. Menanggapi kritikan ini tentu kami sudah mengeluarkan banyak penjelasan disertai dalil-dalil syar'i. Hanya diantara kita semua selalu saja malas membaca. Selain itu banyak yang sudah terlanjur berperspektif negatif terhadap ketetapan Muhammadiyah. Dalam sebuah pepatah arab, 'wa ainur ridhaa an kulli dzanbin kaliilah, kamaa anna ayna sukht tu'til masaawiya. Kalau sejak awal sudah berpersepsi negatif (ain sukht), apapun yang dijelaskan Muhammadiyah tidak akan berguna, karena dia terlanjur terkungkung oleh persepsinya.

Kali ini kritik tersebut datang dari seorang ustadz di Yogyakarta yang mengirimkan tulisannya kepada web muslim,or.id. Tulisannya bisa dibaca di sini. Kami tentu tidak menolak semua argumen yang beliau sampaikan, namun ada beberapa bagian yang dirasa perlu kami luruskan. 
Meskipun demikian, Muhammadiyah tentu tidak luput dari kesalahan. Sebuah organisasi adalah perkumpulan manusia dan bukan perkumpulan malaikat. Oleh sebab itu amat wajar jika manusia-manusia itu terjatuh dalam kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang senantiasa bertaubat, bukan malah bangga dengan kesalahannya atau merasa dirinya hebat telah bisa mempertontonkan kesalahan di hadapan manusia. Apalagi jika dia menganggap kesalahan sebagai kebenaran yang tidak bisa dibantah bahkan oleh dalil sekalipun!
Namun demikianlah realita yang ada dan mungkin bisa kita rasakan sekarang ini. Tidak sedikit orang yang lupa bahwa hakikat gerakan Muhammadiyah adalah ketundukan kepada Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan taklid buta kepada pemikiran KH. Ahmad Dahlan rahimahullah ataupun para ulama dan cendekiawan lainnya.
Dalam tulisan di atas disebutkan bahwa Muhammadiyah tidak luput dari kesalahan. Ya kami setuju dan akui itu, kami memang tidak luput dari kesalahan. Mungkin rumah sakit kami pelayanannya masih belum memuaskan, mungkin mutu sekolah kami masih perlu ditingkatkan, mungkin perguruan tinggi kami belum bisa menjangkau semua kalangan, mungkin mubaligh kami belum bisa memberikan teladan dll. Itulah kami Muhammadiyah yang memang masih jauh dari organisasi sempurna, bahkan mungkin jauh dari kriteria penghuni surga. Kami bukan orang-orang suci yang senantiasa mengklaim diri paling baik, paling nyunnah, paling sesuai dengan kehendak Allah, kami hanya kumpulan manusia yang berusaha mendekatkan diri kepadaNya walau dengan merangkak. Itu kesalahan kami dan kami akui.

Namun jika saat kami menggunakan kriteria wujudul hilal dalam perhitungan hisab hakiki, dan memahami rukyah secara kontekstual dipandang sebagai kesalahan, kami tidak setuju. Silahkan baca argumen kami kenapa ngotot bahkan sampai 'terpaksa' berbeda dengan ulil amri disini  dan disini. Mudah-mudahan anda tidak malas untuk membaca artikel-artikel tersebut dan hanya menuruti hawa nafsu anda yang sejak awal memang sudah sinis dengan Muhammadiyah. 

Apakah kami merasa diri kami hebat dan mempertontonkan kesalahan di hadapan manusia? Pertama, apa indikator kami merasa hebat? Sejak awal kami senantiasa kooperatif dengan pemerintah, mengikuti sidang isbat. Sampai suatu saat kami tidak dihargai dan malah disudutkan, maka wajar bagi kami untuk menolak mengikuti sidang isbat. Penolakan itu bukan karena kami takabbur, namun karena keberadaan kami dalam sidang isbat sama sekali tak dianggap bahkan malah dibully oleh peserta sidang isbat. Buktinya saat menteri agama diganti dengan yang lebih bijak, kami kembali mengikuti sidang isbat. Lalu coba lihat dalam majalah atau web kami, pernahkah kami menyalahkan orang yang meyakini rukyat? Tidak, selalu kami duluan yang disalahkan. Adapun akhirnya kami terpaksa melakukan pembelaan diri dan menyalahkan rukyat juga gara-gara duluan disalahkan.

Apakah kami menganggap keputusan kami kebenaran yang tidak bisa dibantah oleh dalil sekalipun? Kami menganggap bahwa keputusan kami adalah ijtihad, Abdul Hamid Hakim dalam kitab mabadi awaliyah mengatakan bahwa ilmu fiqh itu mencapai derajat zhann, oleh karena itu masih bisa salah. Namun ingat bahwa ada kaidah al ijtihad la yunqadhu bil ijtihad, ijtihad itu tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lain. Oleh karena itu kami hargai kalau kalian punya ijtihad lain, namun bukan berarti kami harus mengikuti ijtihad kalian, kami punya ijtihad sendiri. 

Apakah kami taqlid buta terhadap kyai Ahmad Dahlan? Kyai Dahlan tidak menggunakan hisab wujudul hilal, berarti kita tidak taqlid donk? Kalau kita taqlid seharusnya kita tidak menggunakan hisab wujudul hilal, namun mengikuti kyai Dahlan. Jadi siapa yang taqlid? Jelas penulis artikel tersebut tidak memahami Muhammadiyah sepenuhnya, hanya memahami Muhammadiyah sejauh itu menguntungkan bagi ideologinya saja. Lalu kita harus tunduk kepada sunnah nabi, betul. Namun tahukah anda bahwa ada perbedaan definisi sunnah antara ahli fiqh dan ahlul hadits? Syaikh Muhammad Al Ghazali seorang ulama ikhwanul muslimin membuat buku yang sangat bagus soal ini, judulnya as sunnah an nabawiyyah baina ahlil fiqh wa ahlul hadits. Ahlul hadits dalam memahami sunnah cenderung apa adanya, sedangkan fuqaha memahami sunnah dengan menggunakan logika ushul fiqh. Tahukah anda kalau memahami hadits shumuu li rukyatihi dengan ushul fiqh maka hasilnya adalah melihat tidak jadi sebab hukum bagi ibadah? Jadi tunduk kepada sunnah pun tidak sesimpel itu. Sunnah itu tidak turun di ruang hampa, ada konteks yang mengelilinginya, konteks ini yang sering luput dari penglihatan kita.
Ini menunjukkan bahwa para ulama kita sepakat wajibnya meninggalkan pendapat ulama jika pendapat itu bertentangan dengan dalil al-Kitab ataupun as-Sunnah. Inilah prinsip dan kaidah yang senantiasa mereka pegang erat-erat. Mereka tidak mau mengedepankan pendapat manusia di hadapan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah kandungan makna dari syahadat ‘wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah‘. Sabda Nabi adalah di atas semua pendapat manusia.
Perkataan di atas memang benar, namun masalahnya adalah nabi sudah wafat, sehingga satu-satunya cara memahami agama adalah dengan bimbingan ulama. Masalahnya kalau kita memahami teks al quran dan sunnah secara langsung, kita suka disalahkan juga, dianggap kita sok2an berijtihad sendiri, jadi ujung-ujungnya kita minta fatwa juga ke ulama. Dalam tulisan tersebut dikatakan tidak boleh mengedepankan pendapat manusia di hadapan sunnah, pertanyaannya memangnya ulama itu bukan manusia? Ulama juga manusia semuanya. Dan sudah menjadi sunnatullah sepanjang sejarah bahwa pendapat ulama akan senantiasa berbeda-beda dalam persoalan fiqh. Jangankan soal fiqh, soal akidah saja ada ulama yang meyakini sifat 20 ada yang meyakini pembagian tauhid menjadi 3. Berarti masalahnya adalah siapa ulama yang paling dekat dengan sunnah nabi? Menjawab ini tentu akan muncul berbagai perspektif, bagi yang berpemahaman literal ulama yang paling dekat dengan nabi adalah yang paling literal dalam memahami nash. Bagi yang tradisionalis ulama yang paling nyunnah adalah yang sanadnya sampai ke nabi. Bagi yang kontekstual semakin kontekstual pemahaman ulama maka dia semakin nyunnah. Namanya juga perspektiif ya kalau diperdebatkan sampai kapanpun tidak akan ketemu. 
Diantara bukti besarnya perhatian beliau terhadap masalah akidah tauhid adalah menjelang akhir hidupnya beliau mulai rutin mengkaji kitabFathul Majid Syarah Kitab Tauhid bersama para muridnya. Kitab Fathul Majid adalah syarah/penjelasan Kitab Tauhid yang disusun oleh Syaikh Abdurahman bin Hasan rahimahullah. Adapun Kitab Tauhid itu sendiri adalah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, seorang ulama besar dan mujaddid di masanya.
Beberapa bulan yang lalu kami sibuk mengcounter klaim bahwa Muhammadiyah yang asli itu adalah yang mengamalkan amalan-amalan NU. Kalau kita lihat secara tersirat, bahwa Muhammadiyah yang asli itu adalah pengikut Syaikh Abdul Wahhab saja. Apakah itu salah? Tidak, hanya kurang komprehensif. Dimensi tajdid dalam Muhammadiyah ada dua aspek, yakni purifikasi dan dinamisasi. Penulis ingin menggiring opini pembaca agar tajdid Muhammadiyah hanya purifikasi saja. Jelas ini adalah upaya propaganda diam-diam salafi menarik massa Muhammadiyah. Selain membaca karya Syaikh Abdul Wahhab, kyai dahlan juga membaca kitab Muhammad Abduh. Kenapa soal Muhammad Abduh ini selalu disembunyikan oleh salafi yang menulis tentang Muhammadiyah, jelas ada maksud tersembunyi. 
Kisah lain yang juga disampaikan kepada kami, menunjukkan bahwa Kiyai Nur rahimahullah adalah orang yang berusaha untuk selalu tunduk kepada dalil. Diantara buktinya adalah -sebagaimana juga hal ini diketahui oleh keluarga dan orang terdekatnya- bahwa beliau dalam hal puasa dan hari raya kalau ditanya maka beliau menjawab, “Silahkan tanya kepada pemerintah.”
Dan diketahui juga oleh anaknya bahwa seringkali beliau berpuasa dan berhari raya mengikuti pemerintah alias menyelisihi apa yang telah diputuskan oleh Muhammadiyah. Tentu saja, ini menunjukkan bagaimana beliau selalu berusaha mengikuti dalil walaupun harus menyelisihi pendapat organisasi yang beliau ikuti. Walaupun, beliau adalah ulama/tokoh diantara mereka. 
Menurut kami inilah penggiringan opini yang paling fatal. Muhammadiyah bukan organisasi militer, kalau ada yang tidak ikut komando organisasi kami tidak akan menghukum, apalagi soal ibadah. Jika anggota Muhammadiyah ada yang melanggar hukum, bisa saja kami keluarkan, namun persoalan ibadah bar bagaimanapun adalah urusan individu dengan Tuhannya. Oleh karena itu kami tidak dapat memaksa bahkan terhadap anggota kami sendiri.

Namun lagi-lagi kami tidak terima atas penggiringan opini bahwa kyai Nur yang benar dan jutaan warga Muhammadiyah yang mencoba taat terhadap keputusan persyarikatan adalah berdosa. Memangnya kami tidak punya dalil? Lalu surat Yunus ayat 5 itu mau dikemanakan? Si penulis berusaha menggiring opini bahwa kami sama sekali menentang dalil, jelas itu pendapat yang gegabah dan hanya berdasarkan hawa nafsu penulis. Penulis yang tinggal di Yogya seharusnya bisa bersilaturahim dan berdiskusi dengan majelis tarjih seperti Pak Yunahar Ilyas, bukan menggiring opini masyarakat awam yang malah akan mengeruhkan suasana yang sudah damai.

Terakhir ada keanehan sebenarnya yang kami rasakan, yang berbeda dengan pemerintah itu kan bukan hanya Muhammadiyah, ada ustadz Yusuf Mansur, kemudian salah satu jamaah di Cakung. lalu jamaah an nazhir, hizbut tahrir dll. Lalu kenapa hanya Muhammadiyah yang dibully? Mikir! (Mcd)

No comments:

Post a Comment