Dalam konteks ketauhidan, semesta kehidupan manusia merupakan anugerah yang besar dari Allah. Dalam perspektif Allah, anugerah selalu baik karena Allah adalah rabb yang Maha Baik (rahmah). Namun, karena Allah "berbicara" dalam perspektif dan kesadaran manusia – di mana manusia telah menilai sesuatu menjadi baik dan buruk dari perspektifnya kemanusiaan, maka Allah menyebut anugerah tersebut dengan konsep bala' yang dianggap baik (hasanat) dan dianggap buruk (sayyi'at). Dalam Qs. AI-Araf [7]-. 168 dan Al-Anbiya' [21]: 35 Allah menegaskan bahwa anugerah apapun yang diberikan kepada manusia merupakan bala' (ujian kehidupan) supaya manusia mengetahui hakikat kebenaran itu hanya dari Allah.
Dalam konteks sosiologis, konsep bala' selalu berkonotasi negatif yang berupa keburukan yang lazim dikenal dengan musibah. Kata musibah dalam AI-Qur'an bersifat netral, tidak positif juga tidak negatif, demikian juga bala'. Musibah adalah seluruh hal yang menimpa manusia, dan berfungsi sebagai bala', apakah negatif ataupun positif dari perspektif manusia. Namun, bald' selalu dihindari bahkan dihilangkan dari kehidupan, karena dinilai negatif oleh manusia bahkan disebut sebagai bencana, bebendu, dan prahoro, atau bahkan 'adzab. Kalau mengacu pada rahman dan rahim Allah, konsep bala' merupakan sebuah citra yang diberikan oleh Allah untuk menjadikan manusia selalu dekat dan dipenuhi kasih dan sayang Allah, bukan sebagai bencana bahkan adzab.
Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan Qs. Al-Araf [7]: 168 di atas. orientasi utama dari bala' adalah supaya manusia kembali kepada kebenaran, kembali pada kasih dan sayang Allah. Meskipun demikian, bala' tidak hanya diberikan kepada orang yang durhaka (tidak shalih) saja, namun juga kepada orang salih. Karena fungsinya untuk "mengembalikan" pada kebenaran, bala' menjadi ukuran sikap manusia dalam menghadapinya. Jika manusia berhasil mensikapi bala' maka dia menjadi hamba terkasih dari Allah. Begitu sebaliknya, jika dia tidak berhasil mensikapi bala' dengan baik, maka dia termasuk orang yang perlu mendapatkan ujian lebih banyak lagi.
Allah telah memberikan penjelasan bahwa dalam menyikapi bala' terdapat dua pilihan, syukur dan sabar. Ketika bala' berbentuk kebaikan (hasanit), maka tujuannya adalah kesyukuran, yakni sebuah sikap yang menggambarkan kedekatan dengan kasih dan sayang Allah (Qs. An-Naml [27]: 40). Kesyukuran merupakan dalam bentuk sikap yang bijak dalam menggunakan anugerah untuk memberi kemanfaatan lebih sesuai dengan ketetapan Allah. Begitu sebaliknya, jika bala' berupa keburukan, maka tujuannya adalah kesabaran (Qs. Al-Baqarah [2]: 155-7), yakni sebuah sikap yang menggambarkan kedekatan dengan kasih dan sayang Allah dalam bentuk mengambil nilai positif dan pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi. Penilaian baik (hasanat) dan buruk (sayyiat), sekali lagi, merupakan penilaian dalam konteks pemahaman manusia tentang sesuatu, bukan dalam konteks "pemahaman" Allah. Allah selalu baik, adil, dan hebat, sehingga apapun yang dilakukan selalu balk. KeMaha Baik-an Allah selalu tercurahkan dalam membina dan memelihara seluruh makhluk-Nya. Inilah esensi Allah sebagai rabb yang rahman & rahim.
Penilaian buruk atas bala' yang dipahami oleh manusia merupakan penilian yang didasarkan pada kesadaran manusia yang labil (Qs. AI-Ma'kij [70]:1921). Manusia dengan kesadaran yang labil merupakan manusia yang dikendalikan oleh nafsu yang tidak tercerahkan oleh rahman & rahim Allah (Qs. YOsuf [12]: 53).
Dalam konteks inilah kesadaran manusia, dalam pandangan Peter L. Berger, adalah fragile. precarious, dan insecure sehingga membutuhkan justifikasi nilai. Nilai yang paling fundamental dapat memberikan "penjelasan rasional" atas kejadian yang menimpa manusia, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah agama (Berger, 1994.62)
Kemudian, bagaimana sikap orang beragama dalam menghadapi bala' sayyiat berupa sakit, kekurangan, bencana alam, dan kematian? Dalam Islam, konsep tawhid merupakan konsep final dari sistem ajarannya (al-Shaikh, 2001: 15). Tawhid melandasi seluruh bentuk ajaran Islam, baik dalam konteks aqTdah, 'ibidah, maupun akhljq. Dalam sosiologi fungsionalisme, kesadaran (belief) akan memengaruhi perilaku (practice). Tauhid sebagai bentuk ultimate consciousness seorang Muslim tentu juga akan memengaruhi tindakan sehari-hari (al-Faruqi, 1992).
Dalam konteks tauhid, peristiwa yang menimpa manusia bukanlah sebuah persoalan, karena manusia hidup pasti akan diuji dengan berbagai persoalan, apakah hasanat ataukah sayyiat. Persoalan manusia terletak pada bagaimana dirinya menghadapi persoalan, bukan pada persoalan itu sendiri. Terkait dengan bencana, maka persoalannya terletak pada bagaimana manusia menghadapi dan mensikapi bencana, bukan pada bencananya itu sendiri. Bencana, apa pun bentuknya, sebelum dan setelah terjadi, merupakan ketentuan Allah. Manusia hanya tahu setelah peristiwanya terjadi, sedangkan Allah Maha Tahu sebelum dan sesudah terjadi. Untuk konteks ini, dalam konsep tauhid telah dijelaskan bagaimana seorang manusia menyikapi persoalan dengan landasan aqidah yang kokoh.
Dalam tauhid, baik dalam aspek rububiyah maupun uluhiyah, telah ditegaskan bahwa tidak ada yangdisembah can dicintai selain Allah (15 ma'bada illallah dan 16 mahbuba illallah). Konsep ini meniscayakan sebuah sikap mahabbah (cinta) kepada Allah dan semesta alam, sebagaimana Allah mencintai (rahman & rahim) hamba-Nya dan semesta alam. Landasan kecintaan ini melahirkan sikap ridla dalam menghadapi persoalan. Ridla merupakan sikap yang tutus menerima ketentuan Allah secara ikhlash (mengembalikan pada Allah). Manifestasi ridla ini tercermin dalam tiga sikap, yakni, ridla bil kaun, ridla bina, ridla minna.
Ridla bil kaun merupakan sikap yang ikhlash dalam menerima berbagai persoalan dan musibah yang datang dari alam seperti gempa bumf, gunung meletus, banjir, tanah longsor, tsunami, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan karena kejadian dari alam merupakan peristiwa di luar kemampuan manusia untuk memprediksi secara pasti sebelum terjacinya. Bentuk ridla dalam hat ini adalah kewajiban untuk bangkit dan mengambil nilai positif di batik kejadian tersebut. Ikhtiar dilakukan dalam rangka mempersiapkan secara prefentif sebelum kejadian, dan mengambil hikmah setelah kejadian.
Ridla bina merupakan sikap ikhlash dalam menerima persoalan dan musibah yang datang dalam diri manusia yang sebelumnya capat diprediksi, diantisipasi, dan hindari secara terencana. Sekalipun demikian, tetap menimpa manusia, misalnya kelahiran, sakit, kebodohan, kemiskinan, kekurangan, jodoh, dan kematian. Di samping itu juga musibah yang datang dari lingkungan manusia seperti kejahatan, kerusuhan, dan musibah sosial lainnya. Keseluruhan contoh itu pasti terjadi dalam diri manusia dan dapat diketahui bahwa peristiwa itu akan terjadi oleh manusia, namun waktunya tidak dapat diketahui secara pasti. Oleh karena itu, wujud ridla bina adalah kewajiban berikhtiar menghindari secara rasional dan terencana musibah ini sebelum kejadian, dan ikhtiar keluar dari persoalan tersebut dengan mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi dengan mengembalikan kepada Allah. Konsep inna lillahi wa inni ilaihi rojiun adalah mengembalikan persoalan hanya kepada Allah dengan ikhtiar keluar dari musibah dan mengedepankan sikap baik sangka kepada Allah.
Ridla minna adalah sikap secara ikhlash menerima "tuntutan" Allah dari apa yang kita.lakukan, dan inilah yang disebut syari'ah. Syari'ah merupakan "tuntutan" Allah dari manusia untuk melakukan perbuatan tertentu, misalnya shalat, shiyam, zakat, hajji, jihad, istiqamah, jujur, adil, dan lain sebagainya. Bentuk ridla dalam hat ini adalah ketundukan manusia untuk mengikuti secara total ketentuan Allah dalam syariat, dan ikhtiar manusia adalah menegakkan syariatAllah di dunia (Qs. AI-Ahzab [33]:36).
Ridla bil kaun merupakan sikap yang ikhlash dalam menerima berbagai persoalan dan musibah yang datang dari alam seperti gempa bumf, gunung meletus, banjir, tanah longsor, tsunami, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan karena kejadian dari alam merupakan peristiwa di luar kemampuan manusia untuk memprediksi secara pasti sebelum terjacinya. Bentuk ridla dalam hat ini adalah kewajiban untuk bangkit dan mengambil nilai positif di batik kejadian tersebut. Ikhtiar dilakukan dalam rangka mempersiapkan secara prefentif sebelum kejadian, dan mengambil hikmah setelah kejadian.
Ridla bina merupakan sikap ikhlash dalam menerima persoalan dan musibah yang datang dalam diri manusia yang sebelumnya capat diprediksi, diantisipasi, dan hindari secara terencana. Sekalipun demikian, tetap menimpa manusia, misalnya kelahiran, sakit, kebodohan, kemiskinan, kekurangan, jodoh, dan kematian. Di samping itu juga musibah yang datang dari lingkungan manusia seperti kejahatan, kerusuhan, dan musibah sosial lainnya. Keseluruhan contoh itu pasti terjadi dalam diri manusia dan dapat diketahui bahwa peristiwa itu akan terjadi oleh manusia, namun waktunya tidak dapat diketahui secara pasti. Oleh karena itu, wujud ridla bina adalah kewajiban berikhtiar menghindari secara rasional dan terencana musibah ini sebelum kejadian, dan ikhtiar keluar dari persoalan tersebut dengan mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi dengan mengembalikan kepada Allah. Konsep inna lillahi wa inni ilaihi rojiun adalah mengembalikan persoalan hanya kepada Allah dengan ikhtiar keluar dari musibah dan mengedepankan sikap baik sangka kepada Allah.
Ridla minna adalah sikap secara ikhlash menerima "tuntutan" Allah dari apa yang kita.lakukan, dan inilah yang disebut syari'ah. Syari'ah merupakan "tuntutan" Allah dari manusia untuk melakukan perbuatan tertentu, misalnya shalat, shiyam, zakat, hajji, jihad, istiqamah, jujur, adil, dan lain sebagainya. Bentuk ridla dalam hat ini adalah ketundukan manusia untuk mengikuti secara total ketentuan Allah dalam syariat, dan ikhtiar manusia adalah menegakkan syariatAllah di dunia (Qs. AI-Ahzab [33]:36).
Ikhtiar dalam berbagai variasi calam menghadapi peristiwa kehidupan, baik yang berupa musibah ataupun bala' merupakan manifestasi dari konsep theodicy dalam sosiologi agama. Theodicy merupakan sebuah konsep yang menggambarkan ke-Maha Baikkan dan ke-Maha Adil-an Allah terhadap makhluknya (Cohan, 2010). Sifat itu termanifestasikan dalam seluruh Nama dan Sifat-Nya yang kemudian terderivasikan dalam seluruh ciptaanNya. Dengan demikian apapun yang diciptakan selalu mengacu pada ke-Maha Baik-kan dan ke-Maha Acil-an Allah, termasuk apa yang dipahami manusia sebagai bencana. Di "mata" Allah seluruh ciptaan-Nya adalah baik, dan di mata men of belief dan piety juga baik, namun dari perspektif "kecenderungan manusia yang labil" sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya dipandang sebagai keburukan, seperti halnya bencana.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dapat dimaknai bahwa Allah mengetahui seluruh peristiwa yang terjadi pada makhluk-Nya. Pengetahuan Allah itu mendasari perbuatannya, dan ini merupakan ketentuan Allah yang hanya Allah saja yang mengetahui secara hakiki. Di sisi lain, manusia hanya mengetahui "Pengetahuan dan Ketentuan Allah" yang terdapat dalam Al-Qur'an atau ketentuan yang berwujud peristiwa yang telah terjadi. Peristiwa yang belum terjadi tidak dapat diketahui oleh manusia, kecuali telah dikabarkan langsung atau diisyaratkan dalam Al-Qur'an atau Hadits yang betul-betul sahih. Selain hat-hat yang dikabarkan atau diisyaratkan dalam Al-Qur'an dan Hadits yang sahih, manusia tidak akan capat mengetahuinya, sampai peristiwa betul-betul terjadi. Dengan dasar pengetahuan-Nya, Allah selalu berbuat berdasarkan ke-Maha Baik-kan dan keMaha Adil-an. Lantas bagaimana dengan bencana?
Bencana juga merupakan ketentuan Allah yang didasarkan pada ke-Maha Baik-kan dan ke-Maha Adil-an-Nya. Bencana menjadi sebuah peristiwa yang frightened (menakutkan dan mengejutkan) karena keterbatasan manusia dalam memahami peristiwanya dan memahami Pengetahuan Allah yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Hal ini disebabkan karena kecenderungan kesadaran manusia yang labil tersebut.
Bencana juga merupakan ketentuan Allah yang didasarkan pada ke-Maha Baik-kan dan ke-Maha Adil-an-Nya. Bencana menjadi sebuah peristiwa yang frightened (menakutkan dan mengejutkan) karena keterbatasan manusia dalam memahami peristiwanya dan memahami Pengetahuan Allah yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Hal ini disebabkan karena kecenderungan kesadaran manusia yang labil tersebut.
Islam yang menandaskan tauhid memberikan acuan bagaimana menghadapi bencana. Karena pemahaman manusia akan Pengetahuan Allah dan peristiwa yang sedang dan akan terjadi sangat terbatas maka konsep doa dan ikhtiar dalam Islam menjadi media utama "merubah" ketentuan Allah. Ketentuan yang telah terjadi hanya bisa dimaknai secara positif, tetapi peristiwa yang belum terjadi hanya bisa "dirubah" dengan doa dan ikhtiar. Mengapa "dirubah"? Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi Allah Maha Tahu yang akan terjadi, dan manusia tidak mengetahui ke-Maha Tahuan Allah. Oleh karena itu, agar ketentuan Allah yang berwujud peristiwa yang akan terjadi merupakan "kebaikan" yang menyenangkan (hasanat), maka manusia hanya bisa berdoa memohon kepada Allah untuk merubah ketentuan-Nya yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa Allah adalah Maha Baik dan Adil, dan ke-Maha Baik-kan dan ke-Maha Adil-an Allah selalu mengiringi setiap peristiwa yang terjadi. Manusia hanya bisa mempersepsi peristiwa yang terjadi itu sesuai dengan tingkat kedekatannya dengan Allah. Di sinilah arti penting dari tauhid sebagai value dalam menjalani kehidupan yang selalu membenarkan Allah sebagi Dzat Yang Maha Baik dan Adil, dan inilah esensi dari theodicy calam Islam. Dengan demikian, berdasarkan kesadaran akan tauhid dan konsep theodicy dalam konteks Islam ini, manusia capat menghadapi musibah dengan senyuman. Wallahu a'lam bi sawwab.-
Dr Ustadi Hamsah
No comments:
Post a Comment