Thursday, September 25, 2014

Puisi: “Bulan, Apa Betul Itu, Kau Sulit Dilihat?”

Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis pelayangan
Berabad-abad dalam peredaran
Sangat Patuh tak ada penyimpangan

Berlayar di angkasa berdua dengan matahri
Jadwal tanpa selisih 1/10 detik pun selama ini
Yang satu menyiramkan cahaya, yang lain menyiapkan keindahan
Bergilir siang dan malam, tanpa saling mendahului.

Berlayar di angkasa berziliun dengan bintang galaksi raya
Lihat mereka tawaf sangat teratur di alam semesta
Berada amat cantik dengan logika matematika
Dalam diseiplin dingin dan jelasnya ritma

Seroang anak tiga belas tahun di bulab Sya’ban
Menjelang suatu maghrib berseru kepada bulan
“Rembulan, adakah lagi teka-teki yang akan kau suguhkan
Tentang nama hari apa gerangan, awal dan akhir Ramadhan?”
Anak itu memasang teleskop ketika rembulan melihat ke bumi
Di kalbunya sedang tumbuh iman, diotaknya ilmu falak dan eksak
“Anak muda, saya tak pernah suka berteka teki
Saya dapat perintah berlayar, arah sampai detikku, sangat pasti

Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis perlayangan
Berabad-abad dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyimpangan

Anak itu mengatur lensa, lalu mengintip teropong bintang gemintang
Kemudian dengan bulan terus berdiskusi
“Rembulan, kenapa ketika harus terbit sebagai sabit
Kamu sekali-kali tak tampak, apakah bersembunyi?”

Bulan tertawa diatas sana, hampir saja tampak giginya
“Di langit kok sembunyi, bagaimana ini?
Setiap tanggal satu saya selalu melapor tepat di tempat
Dan sumpah, melanggar perintah saya takut sekali

Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis pelayangan
Berabad-adba dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyipangan

Sang anak mengamati catatanya, angka-angka astronomi
Melalui lensa ruang angkasa malam hari dia amati
“Tapi kenapa terkadang bentuk sabitmu tak kelihatan
Wahai rembulan yang dinanti-nantikan
Kecil sekali bentukku sebagai sabit., terbit di kali langit
Sudutnya sangat rendah dan bila langit tak cerah
Misalkan ada saja kabut selayang dan awan secercah
Wajah sabitku menit itu jadi tertutuplah

Kelihatan tak kelihatan
Bulan taerus meluncur di garis pelayangan
Berabad-abad dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyimpangam

Sang Al-Biruni kecil tetap saja masih penasaran
Dia masih juga mengajukan pertanyaan
Apakah terdapar perbedaan situasi
Cakrawala empat belas abad lalu dengan yang kini?”
Tentu saja keadan berbeda sekali
Dahulu kala langit sangat jernih tak ada cemar polusi
Betapa luar biasa seimbang secara fisika dan kimiawi
Paling paling sesekali awan dan kabut tipis melapisi
Kini berjuta pabrik di dunia menyisakan emisi
Ratusan gas limbah jadi tabir menghalangi
Terapung-apung diatas kulit bumi
Sehingga kaki langit tak sebersih dahulu lagi
Seperti ada selaput tipis menabiri
Sehingga terhalang pandan bulan sabit pertama hari
Itulah yang kami kira saya tak menampakkan diri”

Kelihatan tak kelihatan
Bulan terus meluncur di garis pelayangan
Berabad-abad dalam peredaran
Sangat patuhnya tak ada penyimpangan

Sang ulug bek kecil sangat kritis cara berfikirnya
Kepada bulan diajukan lagi sebuah tanya
“Bila bulan sabit tak tampak pada waktunya
Mengapa Rosul menyuruh menggenapkan bilangan bulannya?”

Kamu muda, cerdas dan luas logikamu
Itulah yang harus terus tak jemu kau renungkan selalu
Apa akna lebih dalam yang Rasul maksudkan
Tentang urusan dunia kita ini yang mesti kita fahamkan

terima kasih rembulan, menarik benar diskusi ini”
Ujar sang cendekia sangat muda di ujung teropong bintangnya
“Banyak soal jadi jelas sekarang bagi saya. Trims ya
Sekarang apa rencanamu, wahai rembulanku?”

Rembulan yang bijak itu tersenyum kini, tapi giginya sembunyi
“Wah, kamu meledek saya, ya, anak bumi
Tentu saja saya terus melayang tak henti-henti
Berdua dengan sejoli saya sang matahari
Berziliun dengan gemintang raya di galaksi
Di garis edar yang ditentukan Maha Pencipta Semesta ini
Di setiap titik ruang angkasa, jadwal saya sudah di tentukan pasti
Bermilyar kilometer, berjuta tahun cahaya
Tidak ada kosak kata berhenti bagi kami
Kecuali bila datang perintah dari Yang Maha Tinggi
‘Berhenti!’
Dan kiamatpun jadi

Rembulan, rembulan! Tunggu!
Jadi kalau kiamat nanti
Kamu tidak ada lagi?”

“Tidak ada, anak bumi, tidak ada lagi
Masa dinas saya selesai sudah, kita tak ketemu lagi
Karena itu, puas-puaskan melihat wajah saya ini
Tulislah agak sebagir puisi
Dah-dah, anak bumi!”
Dah-dah, anak bumi!”


* Puisi ini ditulis oleh Taufik Ismail pada hari Rabu, 14 Ramadhan 1420/12 Desember 199 17.20 di Masjidil Haram Makkah, Lantai 2, shaf 79 depan dinding barat Hijr Ismail dan Rukun Yamani, dimuat dalam harian Republika, Sabtu 15 Desember 2002


No comments:

Post a Comment