Monday, July 14, 2014

Kisah Iblis Menyamar Kakek Tua Yang Menguji Ke-Ikhlasan


Imam Al-Ghazali dalam Mukhtashar Ihya' Ulum al-din pernah bercerita tentang seorang dari kaum Bani Israil yang rajin beribadah kepada Allah dalam masa yang cukup lama. Hingga suatu hari, datanglah orang-orang kepadanya melaporkan, “Di sini ada kaum yang menyembah pohon, bukan menyembah Allah.”
la marah mendengamya. Tanpa pikir panjang, ia mengambil kapak dan menyandangnya di atas pundak menuju pohon itu untuk menebangnya. lblis menyambutnya dalam rupa seorang tua, "Hendak ke mana engkau?” kata Iblis. “Aku mau menebang pohon ini," kata si Alim.
Iblis merayunya, “Apa perlunya engkau dengan pohon itu? Engkau tinggalkan ibadah dengan Tuhanmu, dan meluangkan diri hanya untuk sebatang pohon." Si Alim itu dengan tegas menjawab, “Sungguh ini juga termasuk dalam ibadahku."
Terjadilah percekcokan sengit dan perkelahian antara keduanya. Si Alim membantingnya dan menduduki dadanya. Setelah dilepaskan si Iblis berkata, "Wahai saudaraku, sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini darimu dan tidak mewajibkan atasmu. Engkau bukan seorang Nabi dan tak pula menyembahnya." “Tidak, aku harus menebangnya." Dibanting dan didudukinya lagi si Iblis, tapi Iblis itu berkata, “Lepaskan aku dulu, biar aku menjelaskannya."
Setelah dilepas, Iblis dalam rupa orang tua itu berkata, "Engkau ini orang miskin yang tidak punya apa-apa. Mau makan saja engkau harus meminta-minta kepada orang lain. Tidakkah lebih baik jika engkau bisa bersedekah kepada saudara saudaramu, membantu tetanggamu, serta menjadi kenyang dan tidak bergantung kepada orang lain. Maka, tinggalkan urusan ini dan aku akan menaruh dekat tempat ibadahmu dua dinar setiap malam. Setiap pagi engkau bisa mengambilnya lalu bisa nafkahi diri dan keluargamu, serta bersedekah kepada saudaramu. Insya Allah, itu lebih berguna bagimu dan orang-orang Islam sekelilingmu daripada menebang pohon yang tidak merugikan ataupun bermanfaat buat mereka bila ditebang."
Si Alim setuju dan memintanya berjanji dan bersumpah. Lalu kembalilah si Alim itu ke tempat ibadahnya. Keesokan harinya si Alim mendapati dua dinar di dekat tempat sujudnya. la pun mengambilnya. Demikian pula esok paginya. Namun, pada hari ketiga dan berikutnya ia tidak menemukan apa-apa. la pun marah, mengambil kapak dan menaruh di pundaknya. Orang tua yang sesungguhnya Iblis itu pun menyambutnya, "Hendak kemanakah engkau?"
“Aku akan menebang pohon itu," kata si Alim. Iblis pun menimpali, "Engkau bohong. Demi Allah engkau tidak akan mampu melakukannya dan tidak ada jalan bagimu menujunya." Si alim mencoba melawannya, membanting dan menindih dadanya. Sayang, kali ini, si Alim tidak berdaya dan justru dibanting dan ditindih oleh si Iblis. Bahkan, si orang tua Iblis itu justru mengancam membunuhnya. Si Alim kaget dan bertanya kepada si Iblis mengapa ia bisa kalah?
"Sebelumnya engkau marah karena Allah dan niatmu adalah akhirat, maka Allah menundukkanku di hadapanmu. Kali ini engkau marah karena dirimu sendiri dan karena dunia yang tidak engkau dapati di pagi hari, maka aku berhasil menghajarmu,” jawab iblis bangga.
Kisah ini semakna dengan firman Allah dalam Qs. Al-Hijr: 40, "Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas (mukhlas) di antara mereka." Ikhlas menjadi salah satu tanda kecerdasan jiwa. Seorang yang ikhlas melakukan kebaikan bukan karena diperintah orang atau ingin bereaksi atas suatu situasi, melainkan karena niat tulus yang melimpah dalam hati. Di antara tanda bahwa ia memiliki niat yang baik adalah tidak malas, tidak panik atau tak putus asa tatkala menemui kesulitan. Orang yang baik niatnya, tidak gampang menyerah dan hanya kepada Allah senantiasa berserah. Keikhlasan dan kesungguhan adalah wujud iman dan Islam. Dan ikhlas merupakan inti ajaran Islam.
Kendati demikian, ikhlas tetaplah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Malaikat pencatat amal tidak tahu sedikitpun mengenalnya untuk dapat dia tulis. Setan dan iblis tidak mengetahuinya hingga tak dapat merusaknya. Nafsu pun tidak menyadarinya sehingga tak mampu dipengaruhi. Jika boleh
digambarkan, kata Syekh Abdurrahman al-Lajaiy (w. 599H) dalam Syams al-Qulub, amal adalah tubuh, sementara ikhlas adalah ruhnya. Setiap jasad tanpa ruh di dalamnya adalah bangkai, dan tentu akan dibuang. Barang siapa mengerjakan suatu amal kebaikan untuk Allah tanpa disertai ikhlas, ia laksana menghadiahkan mayat budak kepada seorang penguasa demi mendapat ridlanya. Jadilah hadiah itu sebagai penghinaan bagi sang penguasa.
Kisah Imam Al-Ghazali seakan hendak menggambarkan seseorang yang aktif di Muhammadiyah. Awalnya, ia begitu tulus-ikhlas tanpa pamrih berkiprah di dalamnya. Namun, ketika sudah dan pernah diuji dengan jabatan tertentu di sebuah amal usaha, ia (kadangkala) goyah. Tandanya beragam: ia mulai enggan mengikuti kegiatan di Persyaiikatan; menghitung untung-rugi setiap kegiatan yang diikutinya; menonaktifkan diri dari Muhammadiyah karena tidak diberi jabatan dan penghidupan. Semoga kita semua dikaruniai keikhlasan dalam ber-Muhammadiyah:

Bahrus Surur-lyunk, 
Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah I Sumenep

No comments:

Post a Comment