Untuk kesekian kalinya, tahun ini ada lagi beda awal puasa. Semoga orang Islam Indonesia sudah terbiasa. Dan memang ini akan terus terjadi sampai tahun-tahun ke depan selama masih ada beda “epistemologi”; sekurang-kurangnya antara imkan ar-ru’yah (probabilitas terlihatnya hilal) dan wujud al-hilal (sudah adanya hilal).
Dalam hal ini, sidang isbat (penetapan) tetaplah perlu. Namun pemerintah tak bisa sampai memaksakan penetapannya untuk semua ormas Islam dan para pengikutnya. Sidang isbat sekedar penetapan secara administratif, bukan pemaksaan “ijtihad”.
Terlepas dari hal itu, ada tiga pelajaran penting yang sebenarnya bisa kita ambil dari perbedaan awal puasa.
Pertama, beda awal puasa mengajarkan bahwa ternyata, meski al-Quran dan hadisnya sama, interpretasinya bisa berbeda. Fenomena macam ini sebenarnya biasa. Kita bisa menemukan perbedaan pendapat yang sangat melimpah dalam kitab-kitab fikih, baik klasik maupun kontemporer. Mazhab yang diakui sah oleh “ortodoksi” Islam saja ada delapan. Semua tentu mendaku berpegang pada al-Quran dan hadis.
Perbedaan soal metode rukyah dan hisab, misalnya, bukan baru terjadi sekarang. Memang mayoritas ulama fikih klasik cenderung mengutamakan rukyah. Tapi sejumlah ulama fikih, seperti as-Subki dan Ibn Daqiqil-‘Id misalnya, cenderung pada hisab (Fatawa ar-Ramli, h. 358). Jadi, beda awal puasa sudah ada presedennya dalam masa lampau dan karena itu—meskipun banyak orang boleh jadi mengingingkan puasanya berbarengan—umat Islam tak perlu kaget dengannya.
Kedua, saya berpendapat bahwa perbedaan pandangan itu kadang perlu ada. Perbedaan pandangan keagamaan, meski boleh jadi ia memiliki potensi memercikkan konflik jika tak dikelola dengan baik, sering bermanfaat bagi pendewasan umat: bahwa keragaman tafsir adalah fakta keras kehidupan beragama. Jangankan dalam ayat atau hadis yang sama, dalam satu kata yang sama di dalam teks Quran atau Sunnah bisa memunculkan berbagai interpretasi.
Selain itu, keragaman pendapat juga memudahkan umat. Khalifah yang terkenal adil dari Dinasti Umayyah, Umar ibn Abdul Aziz, pernah berkata, “Aku lebih senang bila para ulama berbeda pendapat, sebab dengan demikian umat punya banyak pilihan.” Salah satu imam 4 mazhab ortodoks Sunni, Malik ibn Anas dari Madinah, tak berkenan menyerahkan kodifikasi hadis-fikihnya kepada pemerintah (Abbasiyah) tersebab menyadari bahwa di belahan kawasan lain (Irak, Syam, dan Mesir), sudah ada ulama lain.
Ketiga, yang paling menarik dari beda awal puasa ini, sesuai pengalaman di tahun-tahun sebelumnya, ialah hampir tidak menimbulkan konflik. Artinya, umat Islam bisa toleran dengan perbedaan ini. Cukup termaklumi, karena perbedaan awal puasa “sekedar” beda dalam soal cabangan-partikular (furu’).
Namun demikian, saya berpendapat, mestinya umat Islam juga bisa membawa sikap toleransi itu ke kawasan yang lebih jauh, yang lebih fundamental (ushul), terutama ke kawasan perbedaan yang menjurus ke persoalan sektarian.
Salah satu perspektif yang layak diajukan ialah bahwa perbedaan yang ushul dan yang furu’ seringkali tipis batasnya. Sebab, ia pada dasarnya juga terkait soal interpretasi terhadap Teks. Yang disayangkan, sengketa kerap muncul oleh sebab beda dalam memilah mana yang fundamental dan mana yang sekedar cabangan. Padahal, jika dirunut secara epistemologis dari tiap keragaman tafsir yang ada, tak terkecuali perbedaan lintas sekte, keragamaan tafsir itu lebih banyak berhubungan erat dengan perbedaan interpretasi sejarah, epistemologi tafsir, serta validasi riwayat. Begitu.
Negara menjamin Kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk Agamanya masing- masing dan beribadah menurut Agamanya dan Kepercayaannya itu.
ReplyDelete