Jum'at 10 Oktober 2014
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA kembali meminta Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) menegakkan keadilan di atas kebenaran. Hal ini terkait kasus yang menimpa warga Muhammadiyah H. Asri di Kalimantan Timur, yang diduga dikriminalisasi pengusaha asal Singapura LTK.
"Ini kedua kali Muhammadiyah meminta kepada MA dan KY menegakkan keadilan atas kasus yang menimpa warga kami," ujar Din, Kamis (9/10/2014) yang dikutip dari detik.com
"Kenapa Muhammadiyah harus membela warganya, karena kami tak ingin melihat ada kesewenang-wenangan yang menimpa warga kami. Perlakuan pengusaha Singapura yang tiba-tiba menjadi WNI ini sudah berlebihan karena diduga melibatkan banyak oknum aparat yang ikut serta memuluskan upaya kriminalisasi tersebut," tambah Din.
Din menegaskan, nasib warganya sungguh mengenaskan, karena akibat kriminalisasi itu, warganya harus mendekam selama dua bulan di tahanan polisi hingga meninggal dunia.
"Padahal, warga kami dinyatakan bebas murni oleh pengadilan. Tetapi karena nasi sudah menjadi bubur, kini kami tinggal meminta MA dan KY untuk menegakkan keadilan," jelas Din.
Din meminta orang-orang dan oknum aparat yang membantu LTK, kini sebagian diketahui menjadi komisaris perusahaan agar diisut.
Berdasarkan dokumen resmi yang dipegang Din, serta kerja advokasi PP Muhammadiyah Dr. Saiful Bakhri, SH, MH, maka Din menyimpulkan telah terjadi kriminalisasi terstruktur terhadap H. Asri hingga meninggalnya yang bersangkutan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA kembali meminta Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) menegakkan keadilan di atas kebenaran. Hal ini terkait kasus yang menimpa warga Muhammadiyah H. Asri di Kalimantan Timur, yang diduga dikriminalisasi pengusaha asal Singapura LTK.
"Ini kedua kali Muhammadiyah meminta kepada MA dan KY menegakkan keadilan atas kasus yang menimpa warga kami," ujar Din, Kamis (9/10/2014) yang dikutip dari detik.com
"Kenapa Muhammadiyah harus membela warganya, karena kami tak ingin melihat ada kesewenang-wenangan yang menimpa warga kami. Perlakuan pengusaha Singapura yang tiba-tiba menjadi WNI ini sudah berlebihan karena diduga melibatkan banyak oknum aparat yang ikut serta memuluskan upaya kriminalisasi tersebut," tambah Din.
Din menegaskan, nasib warganya sungguh mengenaskan, karena akibat kriminalisasi itu, warganya harus mendekam selama dua bulan di tahanan polisi hingga meninggal dunia.
"Padahal, warga kami dinyatakan bebas murni oleh pengadilan. Tetapi karena nasi sudah menjadi bubur, kini kami tinggal meminta MA dan KY untuk menegakkan keadilan," jelas Din.
Din meminta orang-orang dan oknum aparat yang membantu LTK, kini sebagian diketahui menjadi komisaris perusahaan agar diisut.
Berdasarkan dokumen resmi yang dipegang Din, serta kerja advokasi PP Muhammadiyah Dr. Saiful Bakhri, SH, MH, maka Din menyimpulkan telah terjadi kriminalisasi terstruktur terhadap H. Asri hingga meninggalnya yang bersangkutan.
H. Asri adalah pemilik PT. Gunung Bayan Pratama Coal mendapatkan ijin PKP2B (Perjanjian kerjasama pengusahaan tambang batubara) dari Pemerintah pada 15 Agustus 1994. Perusahaan itu adalah pemegang/pemilik PKP2B seluas 100.000 hektar, terletak di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, berdasarkan SK No.002/PK/PT.BA-PT.GBP/1994.
Pada tanggal 1 November 1995 bertempat di Singapura, PT. Gunung Bayan Pratama Coal, mengadakan kesepakatan kerjasama pengusaha LTK.
Dijelaskan Din, dalam perjalanannya, kerjasama tersebut akhirnya menjadi bermasalah karena LTK yang awalnya berkewarganegaraan Singapura, ternyata berkali-kali melakukan tindakan tercela. Anehnya, tindakannya tersebut sepertinya malah didukung oleh oknum di Kementrian ESDM (saat itu masih Kementrian Tambang dan Energi).
Terbukti pada 30 Mei 1997, muncul surat dari Direktur, Direktorat Batubara, Departemen Pertambangan dan Energi yang isinya tidak memperkenankan H. Asri selaku pemilik PT. Gunung Bayan Pratama Coal untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain apabila permasalahan dengan pengusaha LTK belum selesai.
Berlarut-larut, hingga akhirnya pada 27 Nopember 1997, dengan dibantu oleh oknum-oknum Dirjen dan Irjen Pertambangan, akhirnya memaksa H. ASRI melepas seluruh saham PT. Gunung Bayan Pratama Coal kepada perusahaan LTK.
Din prihatin, karena dalam kondisi seperti itu, ternyata H. Asri malah diminta melunasi pajak yang tidak seharusnya dibayar. Bahkan, pihak LTK malah memperkarakan Asri ke Mabes Polri.
"Nah, H. Asri sempat ditahan polisi selama dua bulan pada tahun 2009. Antara H. Asri dan sdr LTK, memang saling lapor polisi. Namun laporan H. Asri ke Polisi malah di SP-3 hingga tidak bisa dilanjutkan. Korban mengaku direkayasa oleh oknum penegak hukum. Akibat menjalani kriminalisasi yang bertubi-tubi itu, H. Asri meninggal pada 2012 silam. Ini menyedihkan," tambah Din.
Meski demikian, menurut Din, pihaknya optimis MA akan merespon permintaannya agar korban mendapatkan keadilan, karena setelah mengalami proses kriminalisasi yang panjang, pada November 2012, akhirnya turun Putusan Perkara Pidana Mahkamah Agung RI, No.1711 K/Pid/2011, tanggal 14 November 2012. Dimana (alm) H. Asri dinyatakan bebas murni. Dengan demikian, sebenarnya pihak LTK harus menyelesaikan kewajibannya dan tidak lagi mengurus perusahaan H. Asri.
Pada tanggal 1 November 1995 bertempat di Singapura, PT. Gunung Bayan Pratama Coal, mengadakan kesepakatan kerjasama pengusaha LTK.
Dijelaskan Din, dalam perjalanannya, kerjasama tersebut akhirnya menjadi bermasalah karena LTK yang awalnya berkewarganegaraan Singapura, ternyata berkali-kali melakukan tindakan tercela. Anehnya, tindakannya tersebut sepertinya malah didukung oleh oknum di Kementrian ESDM (saat itu masih Kementrian Tambang dan Energi).
Terbukti pada 30 Mei 1997, muncul surat dari Direktur, Direktorat Batubara, Departemen Pertambangan dan Energi yang isinya tidak memperkenankan H. Asri selaku pemilik PT. Gunung Bayan Pratama Coal untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain apabila permasalahan dengan pengusaha LTK belum selesai.
Berlarut-larut, hingga akhirnya pada 27 Nopember 1997, dengan dibantu oleh oknum-oknum Dirjen dan Irjen Pertambangan, akhirnya memaksa H. ASRI melepas seluruh saham PT. Gunung Bayan Pratama Coal kepada perusahaan LTK.
Din prihatin, karena dalam kondisi seperti itu, ternyata H. Asri malah diminta melunasi pajak yang tidak seharusnya dibayar. Bahkan, pihak LTK malah memperkarakan Asri ke Mabes Polri.
"Nah, H. Asri sempat ditahan polisi selama dua bulan pada tahun 2009. Antara H. Asri dan sdr LTK, memang saling lapor polisi. Namun laporan H. Asri ke Polisi malah di SP-3 hingga tidak bisa dilanjutkan. Korban mengaku direkayasa oleh oknum penegak hukum. Akibat menjalani kriminalisasi yang bertubi-tubi itu, H. Asri meninggal pada 2012 silam. Ini menyedihkan," tambah Din.
Meski demikian, menurut Din, pihaknya optimis MA akan merespon permintaannya agar korban mendapatkan keadilan, karena setelah mengalami proses kriminalisasi yang panjang, pada November 2012, akhirnya turun Putusan Perkara Pidana Mahkamah Agung RI, No.1711 K/Pid/2011, tanggal 14 November 2012. Dimana (alm) H. Asri dinyatakan bebas murni. Dengan demikian, sebenarnya pihak LTK harus menyelesaikan kewajibannya dan tidak lagi mengurus perusahaan H. Asri.
"Payahnya, kemarin kami dengar oknum Pejabat ESDM waktu itu yang membantu LTK untuk menekan Asri, kini malah diberi posisi sebagai Komisaris. Kami sudah kirim surat ke MA dan KY, dan sudah ada respon tertulis dari KY. Namun belum ada respon dari MA," tutup Din. [sp/mch]